KATAGORI RENUNGAN

Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 16 Januari 2015

One Way Love (Kasih Satu Arah)

"Kasih karunia yang tak lekang untuk sebuah dunia yang lelah"


Dunia membutuhkan sebuah perjumpaan yang segar dengan kasih karunia Allah. Kabar baik injil tentang Yesus Kristus tidak pernah lebih mendesak seperti yang sedang terjadi sekarang. Kasih karunia yang tampak mengejutkan dan menakutkan, tidak natural (bagi dunia) bahkan liar, kasih karunia jenis tersebutlah yang dapat membebaskan kita dan membakar gereja serta dunia. Waktunya telah tiba sekali untuk selamanya meninggalkan agama 'bermain aman' kita dan sepenuhnya mabuk oleh kepenuhan kasih karunia yang sejati.

Daftar Isi

Bab 1 : Dunia Yang Lelah
Bab 2 : Bagaimana Saya Hampir Membunuh Ibu Saya
Bab 3 : Pengakuan Dari Seorang Penampil
Bab 4 : Saya Melawan Hukum Taurat (Dan Hukum Taurat Menang)
Bab 5 : Mantan Narapidana, Para Murid Yang Gagal Dan Kasih Satu Arah
Bab 6 : Manfaat Tak Terduga Dari Memeluk Sebuah Kaktus
Bab 7 : Kasih Karunia Dalam Kehidupan Sehari-hari
Bab 8 : Sebuah Pemberian Yang Menyakitkan Hati
Bab 9 : Penolakan Terhadap Kasih Satu Arah
Bab 10 : Akhir Dari Daftar Hal-hal Yang Harus Dilakukan


Komentar

Tidak perlu diragukan lagi bahwa penerimaan performanisme dibutuhkan hampir dalam segala sektor kehidupan. Performanisme mengukur jati diri dan keberhargaan Anda dengan penampilan serta prestasi yang mampu dicapai oleh diri Anda sendiri. Performanisme menjadikan prestasi bukan sekadar apa yang dilakukan atau tidak dilakukan, tetapi sebagai identitas dari jati diri yang sesungguhnyapemenang atau pecundang.

Universitas tempat para remaja berkuliah bukan hanya tempat dimana mereka belajar, melainkan tempat-tempat tersebut telah menjadi ruang pencarian label yang mendefinisikan diri mereka. Siapa diri Anda di mata teman-teman sebaya Anda telah menjadi pegangan akhir yang dibawa hingga kepada karir bahkan pernikahannya. Uang yang dihasilkan ataupun transportasi yang dikendarakan tidaklah semata-mata cerminan dari pekerjaan, mereka telah menjadi cerminan jati diri. Penampilan kita, kecerdasan kita, serta pendapat orang-orang tentang diri kita, bukan lagi hanya suatu gambaran, semuanya itu telah menjadi patokan terhadap harga diri kita. Di dunia performanisme seperti ini, kesuksesan sama dengan kehidupan, sebaliknya kegagalan sama dengan kematian. Tak heran, orang-orang lebih suka mengakhiri kehidupannya daripada mengakui bahwa mereka kehilangan pekerjaan atau telah membuat keputusan investasi yang merugikan, itu merupakan hantaman keras yang merenggut jati diri yang telah lama berusaha dibangun olehnya.

Ada perbedaan antara bangga terhadap apa yang dilakukan dan menyembahnya. Saat orang menyembah mezbah performadan memang performanisme merupakan bentuk berhala–kita menghabiskan sepanjang kehidupan dengan gila-gilaan untuk menopang citra atau reputasi kita, berusaha melakukan segala sesuatunya dan mengorbankan diri serta orang lain untuk membangun usaha yang lebih memuaskan lagi yang tiada akhir. Kehidupan dipenuhi oleh kerja keras, pembuktian, pemeliharaan, manajemen dan pengendalian dimana yang dapat dilihat hanyalah kaki kita sendiri. Performanisme mendorong kita hidup dalam kegelisahan, ketakutan bahkan kebencian yang terus menerus sehingga kita berakhir dalam kecanduan, rumah sakit atau kandang rehabilitas. Dan sayangnya, gereja tidak kebal terhadap ambisi performanisme yang dibumbui oleh berbagai mutiara rohani yang palsu–agamawi.

Orang Kristen dengan bersemangat mengaminkan keinginan untuk memiliki iman yang serius dan menunjukkan pada dunia yang sedang menyaksikan, kesediaannya untuk menjadi lebih dari orang yang hanya datang ke gereja di hari Minggu. Mereka ingin lebih terlibat dalam komunitas yang luas untuk penjangkauan yang penuh pengorbanan. Namun konsekuensi berbahaya dari dorongan tersebut ialah apabila kita kurang berhati-hati, kita akan memberi kesan bagi orang-orang bahwa kekristenan yang terutama merupakan pengorbanan yang kita lakukan untuk Yesus dan bukan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Yesus bagi kita; perbuatan kita untukNya dan bukan perbuatanNya bagi kita; ketaatan kita untukNya dan bukan ketaatanNya bagi kita. Padahal pusat kekristenan bukanlah melakukan sesuatu atau apapun dari diri kita untuk Yesus, injil ialah Yesus sudah melakukan segala sesuatunya bagi kita. Banyak orang di luar gereja menyimpulkan bahwa kekristenan merupakan kasih kita kepada Allah dan bukannya kasih Allah terhadap kita. Jangan salah paham, apa yang Anda lakukan memang penting, namun itu jauh kurang penting dibandingkan dengan apa yang Yesus lakukan.

Inti dari kekristenan adalah 'kabar baik', bukan nasihat yang baik, teknik yang baik ataupun perilaku yang baik. Masalah orang-orang yang menjauhi gereja bukanlah karena mereka menjauhi Yesus tetapi justru gereja yang telah menjauh dari Yesus. Mereka didorong untuk memegang kendali atas kehidupan kekristenannya dari Allah dimana seharusnya hanya Dia sajalah yang memenuhi kualifikasi untuk melakukannya. Situasi ini bukan hanya ironis namun juga tragis. Merupakan waktu yang tepat bagi gereja untuk kembali menghargai Sang Pendirinya dengan berbalik kepada kasih karuniaNya, menyalakan lagi mercusar pengharapan bagi orang-orang yang tak berpengharapan dan mengarahkan para penampilpenganut performanismekepada kemerdekaan dan salib. Meninggalkan kata 'jika', 'tapi' atau 'dan' yang seringkali diucapkan karena keraguan lalu kembali memberitakan satu-satunya pesan terpenting yang kita miliki dari Yesus Kristus, firman tentang kasih satu arah Allah bagi orang-orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar