KATAGORI RENUNGAN

Translate this blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 27 Januari 2015

Kasih Karunia Atas Segala Sesuatu


Dalam perjalanan bersama Tuhan, kita seringkali bertanya-tanya tentang realitas seperti apakah yang akan ditemui dan dihadapi. Berulangkali kita merenungkan dengan keras setiap keadaan, situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar kita tanpa memperoleh suatu ilham apapun juga. Melalui setiap sudut pemahaman, kita terus menerus saja menggali keyakinan di berbagai pelosok. Kita mencoba menelusuri kembali melalui setiap musim kehidupan yang bergulir dari waktu ke waktu, apakah kita benar-benar telah mengalami bersama Tuhan atau dalam nada yang lebih ekstrim, apakah Dia sungguh-sungguh menyertai kita? Jika ya atau jika tidak, dalam pengalaman seperti apakah Dia ada bersama-sama dengan kita–bahkan di dalam diri kita sendiri?


IRONI TENTANG KETERLIBATAN ALLAH

Saya telah mencoba untuk menahan diri agar tidak menyebutkannya, baiklah sepertinya saya memang seharusnya terbuka–blak-blakan terhadap kebenaran. Beberapa orang secara terang-terangan mengecam pandangan tersebut sebagai 'injil teologis kemakmuran', sebuah injil palsu dalam bentuk lain yang merasuk di tengah-tengah pemahaman kita tentang kasih karunia Allah. Injil yang menyelaraskan berbagai sisi agar seolah-olah sejalan dengan kebenaran injil namun pada dasarnya sama sekali bukanlah injil. Saya tidak suka menyebutnya 'injil kemakmuran' karena saya mempercayai kemakmuran ialah bagian dari janji Allah, jadi saya akan hanya akan menyebut teori tersebut sebagai sebuah kepalsuan dari 'injil yang lain'.


Bagaimana injil yang lain tersebut dikemukakan?

Sejauh ini, saya sendiri belum pernah membaca buku apapun yang mempromosikan injil tersebut. Namun saya telah menemukan ada banyak pembaca dari buku-buku yang berputar di antara pemberitaan 'injil kasih karunia'–kebenaran berdasarkan karya paripurna Yesus di kayu salib, terjebak ke dalam interpretasi liar yang sebenarnya bukan merupakan maksud penjelasan dari sang penulis. Jadi sangatlah penting untuk meluruskan kembali penyimpangan-penyimpangan kebablasan yang berusaha untuk membelokkan dan menjatuhkan orang percaya dari kemurnian injil kasih karunia yang sejati.

Kepopuleran 'injil lain' yang menyamar di tengah orang-orang yang sedang dalam proses meyakini kemurnian injil kasih karunia perlu terdeteksi bahkan diekspos secepat mungkin dan sebersih mungkin. Kalau tidak, maka mau atau tidak mau, kita akan menciptakan kembali suatu tolak ukur 'hukum taurat yang baru' dalam menghakimi kedewasaan kepercayaan orang lain yang sesungguhnya bukanlah merupakan tugas kita. Tanpa disadari, banyak orang yang sesungguhnya menyebut dirinya sebagai seorang pemercaya kasih karunia, malah kembali menciptakan suatu bentuk lain penghukuman yang bertentangan dengan salah satu esensi kebebasan dari Sang Kasih Karunia itu sendiri–tidak ada lagi penghukuman di dalam Kristus (Roma 8: 1).


Paulus mengingatkan Timotius agar berhati-hati dalam menghadapi kepalsuan setipis benang yang sedang menjalar di tengah gereja bahkan hingga hari ini,


"Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati."
(1 Timotius 6: 6-10 & 17)


Secara ringkasnya, guna menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu terhadap artikel ini, saya ingin memaparkan sasaran utama yang membedakan antara 'injil lain–injil teologis kemakmuran' dengan  'injil kasih karunia' sebagai berikut:

  • Injil lain–Injil teologis kemakmuran
    "Anda harus kaya, makmur dan berkelimpahan. Anda harus sehat dan bugar. Apapun alasannya, apabila Anda belum menikmatinya maka Anda belum sepenuhnya ada di dalam Tuhan."
  • Injil kasih karunia
    "Tuhan ingin Anda diberkati secara finansial, Dia ingin Anda kaya, Dia telah menganugerahkan segala berkat bagi Anda. Namun untuk menikmati kebenaran bahwa Dia ingin memakmurkan kehidupan Anda, Anda tidak harus mengukur angka nominal yang tertera di dalam rekening Anda.
    Tuhan ingin Anda sehat dan bugar, Dia telah menanggung sakit penyakit Anda di kayu salib. Akan tetapi, untuk menikmati realitas rohani bahwa Dia telah menyediakan kesembuhan fisik, Anda tidak harus selalu menganggap ketidaksesuaian yang terjadi sebagai tanda kegagalan."
(Orang-orang mungkin akan menuduh alasan yang tertera pada poin kasih karunia sebagai suatu bentuk kompromi terhadap kebenaran yang mutlak. Tetapi ingatlah bahwa Yesus ialah Sang Kebenaran itu sendiri, jadi Dia tidak dapat dikakukan oleh konsep-konsep formula yang berusaha disusun oleh teori manusiawi)

BAHAYA SEDANG MENGANCAM ORANG PERCAYA

Marilah kita menarik garis yang sejelas-jelasnya di antara injil kasih karunia dan injil lain. Kita perlu meminta roh hikmat dan pewahyuan untuk mengenal Tuhan dengan benar (Efesus 1: 17). Tanpa roh hikmat dan pewahyuan tersebut, kita akan terperangkap di tengah berbagai rupa-rupa angin pengajaran dan permainan palsu manusia dalam kelicikan yang menyesatkan (Efesus 4: 14).
Kasih Karunia untuk setiap musim kehidupan
Jadi seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam berbagai konteks yang berbeda namun tetap menyinggung kepada persoalan yang sama, kita perlu menyadari sifat dasar utama dari kasih karunia ialah 'kecukupan', "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 12: 9). Apabila Anda tidak bisa merasakan kecukupan saat ini, maka ada alarm indikasi yang mengingatkan bahwa sepertinya Anda sedang berada di luar kesadaran akan Kristus.

Mengutip dari John Piper, ia menuliskan, "Kekristenan sejati adalah ketika sesuatu terjadi dalam hidup kita dan kita dapat berkata ,'YESUS cukup bagiku'." Saya percaya bahwa sekalipun Allah ingin kita diberkati secara berkelimpahan dan memiliki kesehatan yang utuh serta bugar, namun kita tidak bisa sekadar menolak kenyataan bahwa kita hidup di tengah dunia yang telah jatuh dan tidak sempurna, kita terikat oleh berbagai keterbatasan–sekalipun kita sempurna di dalam Kristus. Kita masih terjerembap di tengah kefanaan. 

Paulus dengan tegas memaparkan seperti apakah pengalamannya melihat keterlibatan Allah di dalam kehidupannya,


Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu  kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan  rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.
(Filipi 4: 11-13)

Dalam segala hal dan dalam segala perkara, itu merupakan definisi zona yang bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh para penganut injil yang lain. Seradikal mungkin, Paulus tidak memberi ruang berpijak bagi mereka yang mencoba untuk membelokkan kekonsistenan injil kasih karunia. Dari sisi injil yang lain, orang-orang bersikeras menekankan manifestasi dari kesembuhan dan kemakmuran. Tetapi injil kasih karunia selalu berfokus kepada Pribadi Yesus Kristus.

Sekalipun kebenarannya bahwa Yesus telah menanggung setiap penyakit dan kemiskinan kita di atas kayu salib, serta kesehatan dan kemakmuran merupakan bagian yang sepenuhnya dapat dinikmati oleh kita sebagai umat tebusan yang mempercayaiNya, namun sekali lagi, hanya karena Anda tidak mengalami realitas tersebut tidak berarti bahwa Anda sedang bermasalah dengan keyakinan Anda sendiri. Saya sendiri tidak percaya bahwa Allah menginginkan anak-anakNya menjadi sakit dan miskin, kendatipun demikian, penyakit maupun kemiskinan tidak seharusnya menghalangi Anda. Dengan mempergunakan iman, Anda dapat melihat bahwa Dia selalu bersama-sama dengan Anda melalui apapun yang sedang terjadi dan seperti yang dikatakan oleh injil, Anda dapat menanggung perkara tersebut bukan berdasarkan kekuatan Anda sendiri, namun berdasarkan kekuatan yang diberikan di dalam Yesus Kristus.

MENGUTAMAKAN PRIBADINYA DIBANDINGKAN MANIFESTASINYA

Terlalu picik, apabila iman tersebut dinilai keampuhannya berdasarkan manifestasi yang terjadi. Iman ialah dasar sekaligus bukti dari 'segala sesuatu' (Ibrani 11: 1). Segala sesuatu berarti segala sesuatu. Segala sesuatu berarti tidak ada pemisahan di antara kutuk-berkat, kemiskinan-kemakmuran ataupun kesakitan-kesehatan. Saya sangat berharap dapat membuang kosa kata yang memang bukan berasal dari Allah itu–kutuk, kemiskinan, kesakitan–keluar dari definisi 'segala sesuatu' yang terpampang jelas di dalam berbagai perikop injil di atas. Saya sungguh-sungguh ingin menghapusnya, namun bila memang itu bisa dilakukan–seperti yang telah diabaikan oleh para penganut 'injil lain', maka segala sesuatu yang tertuliskan dengan begitu jelas sama sekali telah berubah makna atau menjadi ungkapan yang egois bahwa segala sesuatu tidaklah benar-benar segala sesuatu, itu hanya berlaku apabila sesuai dengan selera pribadi saya.


Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.
(2 Korintus 4: 16)

Para penulis Alkitab dengan tegas mempertahankan definisi 'iman' yang telah dikotak-katik oleh berbagai pengajaran menyimpang lainnya seperti 'New Age' yang berputar di sekeliling pola permainan pikiran–sebuah pembelokkan lain terhadap arti kata 'metanoia' (pertobatan, perubahan pola pikir). Keyakinan sejenis ini didasari pada kutipan atas 2 Korintus 4: 13 yang dikeluarkan dari konteksnya, "seperti ada tertulis: 'Aku percaya, sebab itu aku berkata-kata', maka kami juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata." Namun Anda harus meletakkan ayat tersebut sesuai dengan konteksnya. Jadi, apa yang dimaksudkan dengan 'berkata-kata' di dalam perikop tersebut?

Itu bukanlah tentang perkataan yang lahir melalui pemikiran positif. Hanya karena Anda mengkonsepkan iman ke dalam pola pengulangan kata 'aku pasti sembuh di dalam Kristus' atau 'aku diberkati dengan berkat materi karena Yesus' tidak berarti itu akan bekerja secara universal. Bagi beberapa orang, mungkin keyakinan tersebut bekerja baginya karena memang itulah yang diletakkan oleh Roh Kudus di dalam hatinya. Namun sangat konyol apabila kita berusaha meniru konsep yang sama, beberapa orang dengan keliru mengatakan 'hukum iman' tersebut bersifat konstan bagi setiap orang. Maaf apabila tampak menyinggung, tetapi saya dengan tulus ingin mengatakan bahwa Allah tidak sedangkal yang Anda bayangkan. Dia memiliki cara yang kaya dan misterius. Alasan mengapa iman dibutuhkan bukanlah karena ada kepastian hukum yang bekerja melaluinya, melainkan justru selalu lebih banyak ketidakpastian yang tak terduga dari cara-cara Allah dan iman memastikan kita untuk tetap mempercayaiNya dalam segala keadaan. Jika Allah dapat ditebak, maka tidak diperlukan iman untuk kehidupan kekristenan kita. Hukum iman merupakan kedaulatanNya dan yang dapat kita lakukan terhadapnya hanyalah bergantung kepada Sang Iman tersebut–dalam gayaNya yang selalu melebihi dugaan dan perkiraan kita.

Jika frasa 'berkata-kata' memang merujuk kepada pemikiran positif yang diperkatakan, maka tentulah para rasul seharusnya sedang mengungkapkan kegagalan mereka sendiri dalam perikop tersebut karena sebagaimana yang sudah saya paparkan di atas pada beberapa ayat berikutnya dan masih di dalam konteks yang sama, mereka menyatakan bahwa manusia lahiriahnya semakin merosot. Jika 'berkata-kata' benar-benar mempengaruhi manifestasi ilahi, maka para rasul telah terbukti gagal mempraktekkan prinsip tersebut. Dan lebih mencegangkan lagi apabila Anda memperhatikan ayat-ayat sebelumnya dimana ketragisan pengalaman iman mereka diungkapkan, "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa." (2 Korintus 4: 8-9). Jelas prinsip berkata-kata tidak ada sangkut pautnya dengan ritual memperkatakan apa yang kita inginkan, melainkan mereka selalu meletakkan seluruh fokusnya kembali kepada Yesus Kristus (2 Korintus 4: 14), mereka sama sekali tidak menggeser pengharapannya kepada manifestasi apapun.

MELEPASKAN CENGKERAMAN PALSU

Saya telah bertemu dengan beberapa orang yang menyalahartikan interpretasi dari buku-buku pengajaran kasih karunia dan mengubah keindahan pesan yang seharusnya memerdekakan menjadi sebuah beban baru. Saya berdoa agar hikmat dan wahyu yang benar akan menuntun setiap dari kita kembali kepada kemurnian injil yang sejati.

Alasan mengapa manifestasi ilahisekalipun kita sungguh-sungguh meyakini keakuratannya tanpa mengurangi sedikitpun kuasa Allah–tidak seharusnya menjadi fokus yang diutamakan ialah karena itu membuat banyak orang lebih berfokus kepada dirinya sendiri daripada kepada Kristus. Saya menyukai kata-kata yang dituliskan oleh Bob George dan Andrew Wommack, "Tidak ada yang salah dengan Allah dan demikian juga tidak ada yang salah dengan diri Anda." Para penganut 'injil lain' yang awalnya mencoba menyatakan berbagai manifestasi kepada orang-orang menemukan diri mereka terjebak dengan menghakimi dan bukannya membesarkan hati orang-orang. Mereka membuat orang-orang berfokus untuk memeriksa apa yang salah di dalam diri mereka. Dengan mencari-cari kesalahan diri terhadap penghalang manifestasi yang dijanjikan, kita malah kembali meletakkan segala sesuatunya ke atas diri kita sendiri. Kita tidak lagi berfokus kepada Allah. Bila hambatan manifestasi itu terjadi karena suatu penghambat di dalam diri kita, maka itu berarti kasih karunia bukanlah kasih karunia. Bagaimanapun, jika apa yang kita lakukan dapat merintangi manifestasi untuk mewujudkan tampilannya, maka itu jelas bahwa kitalah yang menghasilkannya dan bukannya Allah lagi.

Iman tidak pernah menolak kenyataan yang sedang terjadi atau dialamiitu merupakan penyangkalan yang tidak realitis dan tidak sesuai dengan injil, namun iman selalu melihat kebenaran di balik kenyataan tersebut–tanpa berusaha untuk mengabaikannya. Bahkan ketika Anda sakit, Allah masih menjadi kesembuhan Anda. Bahkan ketika Anda miskin tanpa sepeser uangpun di kantong Anda, Allah masih tetap mengarahkan Anda terhadap berkat-berkatNya. Anda mungkin belum menyaksikannya, tetapi Ia sudah melakukannya dan segala sesuatu akan bermanifestasi sesuai dengan apa yang Dia tetapkan, bukan apa yang Anda paksakan melalui ritual 'berkata-kata' Anda. Karena itu, kita perlu memahami bahwa manifestasi bukanlah bagian terpenting dari daya iman kita. Bahkan manifestasi tidak ditentukan oleh ukuran iman kita. Persoalan yang terpenting tentang iman merupakan 'Objek' iman itu sendiri–Yesus Kristus yang olehnya kita terus menerus menemukan alasan seperti yang dikatakan oleh Paulus, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5: 18). Sekali lagi, kita tidak punya dalil untuk menaruh batasan apapun ketika FirmanNya menyatakan bahwa itu di dalam segala hal, segala perkara dan segala sesuatu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar